Minggu, 08 April 2012

Membaca Indonesia Raya


Oleh Erwin Puspaningtyas Irjayanti
“Apa pun yang tidak membunuh kita, menguatkan kita.” Nietzche
   Saya menulis kisah ini live di atas bukit pada sore yang terik. Keringat pun bercucuran . Saat itu saya sedang duduk putus asa. Saya ingin berteriak kencang. Saya lelah berjalan dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari air bersih agar bisa diminum sekeluarga. Selain itu saya juga harus berjalan ke satu bukit ke bukit yang lain untuk sekedar mencari sayur, kacang panjang, dan sayur –sayur dapat kacang tanah untuk di jadikan lauk nanti. Jika tidak mendapat apa-apa untuk makan malam, terpaksa kami mengambil daun langurru’ dan batang rotan untuk dimasak jadi sayur. Rasanya ? Jangan tanya. Sayurnya licin selicin daging tanaman lidah buaya. Buat menelan saja butuh perjuangan.
   Ya,  saya ingin berteriak, setengah putus asa karena akan pulang dengan tangan kosong. Saya belum mendapatkan apa yang kami cari. Dan, dada saya kian sesak mengingat orang-orang sini melakukan kegiatan ini setiap harinya. Suatu komunitas yang tinggal di rumah panggung, dipedalam bukit-bukit, jauh dari gemerlap apalagi teknologi. Saudara kita. Satu tanah air. Beginilah susahnya keseharian mereka, dulu, sekarang, dan entah sampai kapan.
   Just wanna say to everyone in the world bahwa jika hari ini pekerjaanmu melelahkan, alangkah indahnya jika kamu bersyukur karena keringat dan jerih payahmu itu dihargai lebih dari sekedar air bersih , sayur, kacang panjang, dan batang rotan untuk menyambung hidup.
    Dan, jika nanti kamu hanya makan “apa adanya” atau makan yang tidak sesuai seleramu, syukurilah karena itu hanya hari ini saja. Atau bahkan, itu hanya KALI INI saja.
    Maka, jika nanti malam kamu akan beranjak tidur, sampaikan salam hangat yang paling hangat dari saya kasur empuk dan mungkin AC di kamarmu. Baru 7 bulan lagi saya akan meninggalkan papan tidur dan bertemu kasur seempuk kasurmu malam ini.
    Dan, jika saat ini, besok, atau esok dan esoknya lagi kami mengeluh karena listrik padam, bersyukurlah karena itu hanya akan 1,2,3,7,8 atau 10 jam saja. Di sini, listrikpun bahkan tak ada,
    Oh ya, jadi ingat uang 18.000,00 di dalam kantong.
    Yah, saat sepuluh hari lalu saya ambil Rp50.000,00 dari ATM dan hari ini masih tersisa Rp 18.000,00 saya jadi ingin memberi tahu bahwa pendapatan rata-rata perbulan di sini adalah Rp150 .000,00 hingga Rp200.000 /KK.
    Jadi, hari ini kalau kamu ke restoran entah apa namanya dan membayar setidaknya Rp 150.000,00 untuk santapan yang tersaji di mejamu, ingatlah bahwa uang sebesar itu adalah penyambungan hidup kami di sini selama sebulan. Lalu, bersyukurlah atas apa yang kamu punya.
    Pada detik ini saya sudah menghapus peluh.
    Tersuntum.
    Membayangkan papa-indoq, ayah ibu hostfam-ku yang bakal senyum dan senang melihat saya pulang dengan tempat air yang terisi dan segenggam sayur di keranjang bambu.
    Tepat di detik ini, saya sudah berdiri.
    Saya akan mencari air lagi dan menengok beberapa kebun sebelum malam tiba. Siapa tahu ada sayur yang dapat dibawa pulang.
Dan, sekarang saya sudah menggedong keranjang bambuku.
Tersenyum.
    Matahari indah hampir tenggelam di atas laut sana.
    Adalah menjadi indah jika membayangkan november nanti saya akan kembali. Dan membuang sepatu lapang usang yang kupakai sekarang ini, menggantinya dengan high-heels dan mendaki kembali tangga-tangga eskalator, menjejaki lift, dan menik mati makanan-makanan lezat. Lagi.
    Pada detik ini, kusudahi.
    Saya harus berburu air dan sayur lagi.
    Berkah yang kuasa bersama kalian semua, sahabatku.  Terimakasih sudah membaca ini.
    Ayo, tersenyum dan bersyukur.
    Peluk jauh dari bukit entah apa namanya di Majene.

Cerita di atas adalah kutipan dari buku kumpulan cerita Pengajar  Muda Indonesia dalam program Indonesia Mengajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar