Oleh Erwin Puspaningtyas Irjayanti
“Apa pun
yang tidak membunuh kita, menguatkan kita.” Nietzche
Saya menulis kisah ini live di atas bukit pada sore yang terik. Keringat pun bercucuran . Saat itu saya sedang duduk putus asa. Saya ingin berteriak kencang. Saya lelah berjalan dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari air bersih agar bisa diminum sekeluarga. Selain itu saya juga harus berjalan ke satu bukit ke bukit yang lain untuk sekedar mencari sayur, kacang panjang, dan sayur –sayur dapat kacang tanah untuk di jadikan lauk nanti. Jika tidak mendapat apa-apa untuk makan malam, terpaksa kami mengambil daun langurru’ dan batang rotan untuk dimasak jadi sayur. Rasanya ? Jangan tanya. Sayurnya licin selicin daging tanaman lidah buaya. Buat menelan saja butuh perjuangan.
Saya menulis kisah ini live di atas bukit pada sore yang terik. Keringat pun bercucuran . Saat itu saya sedang duduk putus asa. Saya ingin berteriak kencang. Saya lelah berjalan dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari air bersih agar bisa diminum sekeluarga. Selain itu saya juga harus berjalan ke satu bukit ke bukit yang lain untuk sekedar mencari sayur, kacang panjang, dan sayur –sayur dapat kacang tanah untuk di jadikan lauk nanti. Jika tidak mendapat apa-apa untuk makan malam, terpaksa kami mengambil daun langurru’ dan batang rotan untuk dimasak jadi sayur. Rasanya ? Jangan tanya. Sayurnya licin selicin daging tanaman lidah buaya. Buat menelan saja butuh perjuangan.
Ya, saya ingin berteriak, setengah putus asa
karena akan pulang dengan tangan kosong. Saya belum mendapatkan apa yang kami
cari. Dan, dada saya kian sesak mengingat orang-orang sini melakukan kegiatan
ini setiap harinya. Suatu komunitas yang tinggal di rumah panggung, dipedalam
bukit-bukit, jauh dari gemerlap apalagi teknologi. Saudara kita. Satu tanah
air. Beginilah susahnya keseharian mereka, dulu, sekarang, dan entah sampai
kapan.
Just wanna say to everyone in
the world bahwa jika hari ini pekerjaanmu melelahkan, alangkah indahnya
jika kamu bersyukur karena keringat dan jerih payahmu itu dihargai lebih dari
sekedar air bersih , sayur, kacang panjang, dan batang rotan untuk menyambung
hidup.
Dan, jika nanti kamu hanya makan
“apa adanya” atau makan yang tidak sesuai seleramu, syukurilah karena itu hanya
hari ini saja. Atau bahkan, itu hanya KALI INI saja.
Maka, jika nanti malam kamu akan
beranjak tidur, sampaikan salam hangat yang paling hangat dari saya kasur empuk
dan mungkin AC di kamarmu. Baru 7 bulan lagi saya akan meninggalkan papan tidur
dan bertemu kasur seempuk kasurmu malam ini.
Dan, jika saat ini, besok, atau
esok dan esoknya lagi kami mengeluh karena listrik padam, bersyukurlah karena
itu hanya akan 1,2,3,7,8 atau 10 jam saja. Di sini, listrikpun bahkan tak ada,
Oh ya, jadi ingat uang 18.000,00
di dalam kantong.
Yah, saat sepuluh hari lalu saya
ambil Rp50.000,00 dari ATM dan hari ini masih tersisa Rp 18.000,00 saya jadi
ingin memberi tahu bahwa pendapatan rata-rata perbulan di sini adalah Rp150
.000,00 hingga Rp200.000 /KK.
Jadi, hari ini kalau kamu ke
restoran entah apa namanya dan membayar setidaknya Rp 150.000,00 untuk santapan
yang tersaji di mejamu, ingatlah bahwa uang sebesar itu adalah penyambungan hidup
kami di sini selama sebulan. Lalu, bersyukurlah atas apa yang kamu punya.
Pada detik ini saya sudah
menghapus peluh.
Tersuntum.
Membayangkan papa-indoq, ayah
ibu hostfam-ku yang bakal senyum dan senang melihat saya pulang dengan tempat
air yang terisi dan segenggam sayur di keranjang bambu.
Tepat di detik ini, saya sudah
berdiri.
Saya akan mencari air lagi dan
menengok beberapa kebun sebelum malam tiba. Siapa tahu ada sayur yang dapat
dibawa pulang.
Dan, sekarang saya sudah menggedong keranjang bambuku.
Tersenyum.
Tersenyum.
Matahari indah hampir tenggelam
di atas laut sana.
Adalah menjadi indah jika
membayangkan november nanti saya akan kembali. Dan membuang sepatu lapang usang
yang kupakai sekarang ini, menggantinya dengan high-heels dan mendaki
kembali tangga-tangga eskalator, menjejaki lift, dan menik mati makanan-makanan
lezat. Lagi.
Pada detik ini, kusudahi.
Saya harus berburu air dan sayur
lagi.
Berkah yang kuasa bersama kalian
semua, sahabatku. Terimakasih sudah
membaca ini.
Ayo, tersenyum dan bersyukur.
Peluk jauh dari bukit entah apa
namanya di Majene.
Cerita di atas adalah kutipan dari buku kumpulan cerita Pengajar Muda Indonesia dalam program Indonesia Mengajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar